Saturday 12 March 2011

Expecto Patronum

Lagi-lagi serangga jelek, menjijikkan, menjemukan, menggelikan, menakutkan dan segalanya mengampiri ku. Sepertinya mereka begitu angkuh dan bangga bisa berada di dalam kehidupanku dan dengan berlagak sombong menginjak-injak harga diriku. Itulah mereka, KECOA.

Sepertinya mereka mengikuti kemana aku pergi. Ketika aku di kampung halaman, mereka juga, ketika aku di Padang, mereka juga, ketika aku dimana aja, mereka juga. Aku bahkan bingung “apa mereka tak bosan mengikuti kemanapun aku pergi?”

Kecoa lebih menjijikkan bagiku dari pada seekor cacing,  lebih menjijikkan dari pada seekor tikus, lebih menjijikkan dari pada ulat, bahkan ulat bulu sekalian. Aku lebih memilih gelap dari pada seekor kecoa, iiiiiiiiiiiihhhhhhhhhh….

Ini adalah kisah mengenai kecoa-kecoa menjijikkan yang ku maksudkan tersebut:

Alkisah,
Kuliahku berakhir tepat pada pukul 3 sore di jam yang melingkar di tangan kiriku. Gerah di sekujur tubuh yang aku rasakan. Setelah seharian sejumlah rumus, hitung-hitungan, variebel, kalimat, imajinasi, bahkan gosip berusaha dengan keras mengetuk pintu otak ku agar menginap di sana. Tapi otakku begitu keras kepala (emang otak punya kepala?), dia begitu bodoh menyeleksi apa-apa saja yang boleh menginap. Gosip adalah salah satu hal yang ia terima. Sekarang dia bahkan tidak sependapat dengan bibirku. Bibirku pernah berucap “aku harus serius, biar bisa, biar ngerti, biar ujian g nyontek, jadi plototin terus dosen yang di depan tanpa berkedip” (hingga mata memerah dan menangis darah). Tapi, tapi dan tapi, aku kian gencar menyontek (emang dasar plagiat!) dan otakku malah kian hebat menjaga pertahanannya, layaknya seorang kipper sepak bola. Menjaga gawangnya, menangkap bola yang mau masuk, dan menendangnya lagi ke lapangan. Bola disana adalah sejumlah ilmu, gawang adalah otakku, kipper itu sendiri adalah pintu otakku (begitu pelik). Aku rasa, otakku pernah bertemu dengan Markus, sang kipper Timnas, untuk berlatih bagaimana menjaga gawang. (bukan perspektif yang baik).

Ku langkah kan kakiku menuju ambang pintu kelas, ada lima temanku di sana yang sudah lebih dahulu keluar menunggu ku di ambang pintu. Dengan senyum yang menurutku sangat manis, ku lemparkan kepada mereka, dengan semangat membabi buta aku berkata “yuk pulang!!!”

Kebiasaan kami sebelum pulang adalah mampir di salah satu tempat fotokopy favorit kami, “Alif Fotocopy” itu namanya. “ngopi apa?” ujarku, “tugas tadi udah ada pembahasannya dari kelas sebelah” jawab salah satu temanku. Mataku langsung berbinar-binar mendengar ucapannya. Aku tak usah bergadang malam ini. Haha, tinggal salin saja apa yang ada (lagi-lagi plagiat).

Temanku pun menyerahkan lembaran-lembaran kepada Bang Alif, nama yang kami berikan untuk abang fotokopy itu, dan kami tahu persis itu bukanlah nama yang sebenarnya. Dan sampai sekarang pun aku tak tahu, siapa sebenarnya “Alif” yang dijadikan nama sebuah usaha tersebut. Bang Alif mulai bekerja dengan mesin fotocopynya yang putih abu-abu. Tak terlihat sedikit kejenuhanpun di wajahnya saat usianya sudah sekitar 35 tahunan, dia tetap saja memberikan senyumannya kepada kami, entah lelah ataupun jenuh. Dia telah lebih dahulu berada di kampus ini dibandingkan kami. Aku tidak tahu sudah berapa tahun dia menggeluti usaha ini. Dia bahkan tahu lebih banyak mengenai buku atau skripsi dibandingkan kami. Sehingga kami sering bertanya padanya, misalnya tentang buku pegangan apa yang digunakan dosen ini untuk mata kuliah ini, atau bagaimana seharusnya penulisan skripsi bagian ini. dia akan dengan ramah dan tulus memberikan jawaban untuk kami.

Bang Alif mulai dengan membuka bagian atas mesin, meletakkan lembaran itu di antaranya, dan kemudian menutupnya kembali. Jemarinya menekan tombol-tombol di mesin itu. Mesin itupun bekerja dengan menyuarakan bunyi-bunyi yang khas dan kilatan-kilatan kecil terlihat di dalamnya. Seketika itu pula kertas-kertas yang lain ke luar dari sisi lain mesin ini. Itu dia fotokopian tugas yang akan aku tulis malam nanti. Kami kembali ke kosan masing-masing setelah menerima lembaran-lembaran tadi.

===

Aku kini di dalam angkutan kota, menuju kosanku. Angkutan kota terwaah di kota Padang, yaitu rute Tabing-Singgalang, full music yang isinya lagu-lagu yang update atau lagu super dugem, dengan speaker besar dibelakangnya, hingga memaksa jantung dan paru-paruku keluar. Dua buah LCD, masing-masing di depan dan di belakang yang menurutku tak perlu ada, sebab penumpang lebih cinderung memandang keluar dibandingkan ke LCD. Penumpang tentu saja tak ingin melewatkan tempat di mana seharusnya dia berhenti. Jadi LCD menjadi percuma saja. Tentu music saja sudah cukup bagiku. Ini belum selesai, hiasan angkutan ini masih banyak, misalnya beraneka ragam boneka, ular, bear, kumbang, ikan dan lain-lain yang kupandang seperti toko boneka. Satu hingga dua buah lampu pijar yang begitu terang dan asesoris lainnya yang masih bisa dia pasang di sana. Tapi angkutan ini tetap kelihatan bersih bagiku.

Aku duduk di bangku kecil di depan pintu masuk. Sesak terlihat. Saat itu adalah saat-saat dimana banyak orang ingin pulang ke rumahnya masing-masing, anak sekolah, kuliahan, pegawai kantoran atau pekerjaan-pekerjaan lainnya. Ku perhatikan wajah-wajah letih mereka setelah melewatkan hari ini. Aku tentu tak tahu apa saja yang masing-masing dari mereka lewatkan, aku hanya berharap, semoga itu indah dan membuat mereka bahagia. Akupun akan merasa bahagia berada di antara orang-orang yang bahagia.

Angkutan ini terus melaju membawa kami pulang. Angin terasa begitu sejuk mengibaskan kerudung putihku. Satu persatu mereka turun, hingga akhirnya tinggal kami bertiga di sana, aku, seorang perempuan paruh baya, dan sopir angkutan. Aku dan perempuan paruh baya ini berhenti di gang yang sama, tapi menyusuri jalan yang berbeda di persimpangan gang. aku berjalan gontai menuju kosanku. Jalan setapak yang kulewati terlihat sedikit basah, ini karna hujan deras tadi siang.

===

Aku di depan televisi 14 inc dengan sepiring nasi beserta lauk dan sayurnya, setelah mandi dan shalat asar. Uni Linda teman kosanku sekaligus kakakku (dalam arti sebenarnya) juga ada disana, ditemani dengan sebuah buku ditangannya. Kami bercerita seputar apa yang terjadi di kampus hari ini, sesekali gelak tawa mengiringi cerita kami. Uni Linda adalah orang yang kutu-an (bukan dalam arti yang sebenarnya). Maksudku, dia begitu gila buku, alias kutu buka. Dia lebih betah berada di toko buku berjam-jam dari pada di mall lama-lama. Dia bahkan bisa melahap buku 400 halaman dalam satu malam. Woooow

“tidur bentar ah” ujarku tiba-tiba, “setengah jam-an lah” tambahku lagi. “bentar???” balas Uni Linda dengan sedikit depensif, “hehehe, kurang lebih lah bu, mudah-mudahan tak sampai distorsi” balasku lagi.

Belum lama aku memejamkan mataku, terasa sesuatu berjalan di kepala ku, ku kibaskan dan kembali ku pejamkan lagi mataku yang sayu. Dalam tidur siangku ini, aku bermimpi, seseorang mengetuk kepalaku hingga kepalaku terasa sakit, akupun mengusap-usap kepalaku. Sekarang terasa nyata, ada sesuatu di tanganku setelah ku usapkan ke kepala. Dengan tidak ikhlas ku bukakan mataku perlahan. Di telapak tanganku, terasa ada sesuatu yang hidup, sesuatu yang memiliki nyawa, dan sesuatu yang menggelikan. Segera ku buka telapak tangan kananku, spontan aku menjerit setelah ku dapati seekor serangga menjijikan di sana, seekor kecoa. Aku menghentak-hentakkan tanganku sambil berlari ke luar kamar dengan celana pendek, t-shirt dan rambut acak-acakan, bermaksud agar serangga itu tak lagi di sana. Tak ku temukan seorangpun di ruang tamu, ternyata kecoa itu malah ikut terbang ke ruang tamu. Aku semakin menjerit dan berlari menghindar. Hingga akhirnya ku putuskan untuk membuka pintu depan dan berlari ke luar rumah. Sambil menjerit-jerit dan masih dengan rambut acak-acakan aku berlari keluar. Terengah-engah ku perhatikan ke belakang, tak ada lagi kecoa terbang di sana, dia tak lagi mengikutiku.

Aku mengusap-usapkan tanganku ke dada, “huft” hela ku. Aku sekarang aman. “ku semprot juga ntar tu kecoa-kecoa jelek, biar mampus, expecto patronum!!” kutukku dengan mimik membara. Tiba-tiba suara asing terdengar di telingaku “aman non?”, aku segera menoleh ke arah sumber suara. Di sana ada 3 orang cowok kosan sebelah, memandangku dengan tampang seakan menahan tawa. “hah??” ujarku kaget, “a a a man kok” tambahku dengan senyum terpaksa, pipi merah merona, tampang g jelas, lalu aku berhambur cepat ke kosan.

Sekilas terdengar gelak tawa dari luar jendela…


Monday 7 March 2011

Bukan Final Destination

Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, tempat, atau kejadian, itu hanya kebetulan semata.

Kumandang adzan asar membangunkan ku dari tidur siangku yang panjang. 15:45 WIB jam digital di henpon silver ku. Hari ini adalah minggu, aku teringat akan janjiku dengan seorang teman untuk menemaninya ke Bandara Internasional Minangkabau (BIM), mengantarkan kepergian temannya ke Purworerto, salah satu Kota di Pulau Jawa, aku tak tahu dimana tepatnya.

Ku segera beranjak dari tempat tidurku yang tidak lagi empuk. Kapas kapuk di dalamnya sudah menyusut dan tua seiring berjalannya waktu. Sprei biru langit garis-garis menghiasinya, membuat ia terlihat begitu teduh dan sama sekali tidak menyejukkan mata. Kusut dan berantakan, itu yang kudapati sejauh ini tentang kasur kapuk itu.

Mimpi di siang bolong adalah penyebabnya. Semua seakan begitu konkrit. Memaksa tubuhku ikut merespon semua kejadian di mimpi ke kehidupan nyataku. Jantungku berdegup cepat, badanku meronta-ronta ditemani dengan deraian air mata. Begitulah ungkap teman satu kosanku Nia dengan wajah bingung melihat tingkahku ketika tidur itu kulalui, tanpa sedikitpun niat darinya untuk membangunkan aku. Dia begitu tidak peka terhadap situasi. Asumsiku, saraf responnya mungkin sudah disuspensi.

=====


Ba’da asar, saat itulah dia akan menjemputku. Aku sudah siap dengan jeans biru terang dan T-Shirt putih bertuliskan “Toraja - south Sulawesi” pemberian teman kuliahku ketika ia ke Makasar. Aku tidak suka menggerai rambutku, aku fikir rambutku itu tak sejalan lagi dengan gravitasi, mereka semua seakan ingin terbang melawan gravitasi, hingga membuatku berantakan. Lalu, ku ikatkan mereka semua tinggi kebelakang, dengan ikat rambut hitam minimalis kesayanganku. Hmmm, semua terlihat harmonis dengan sandal jepit putih dan jam tangan putih melingkar ditanganku, begitu kontras dengan kulit kuning langsatku.

Jemariku menekan tombol-tombol kecil henpon silverku. “gw siap”, itulah pesan singkat yang kukirimkan kepada temanku. Ku tunggu dia sambil mendengar lagu-lagu Sheila On 7 yang kusukai dan ku simpan di MP3 henponku. Kaki dan kepalaku ikut bergoyang siring irama lagu (menggoyangkan kepala: aku teringat capung). Sesekali ku kibaskan poni lurus di jidatku ke arah kiri di atas hidungku yang pesek, layaknya pemeran centil sinetron striping.

“tet tet”, terdengar bunyi klakson di depan rumah. Aku segera berjalan keluar, mendapati temanku di sana dengan motor matic hitamnya. Begitu serasi dengan T-Shirt hitam yang iya gunakan dengan jeans dongker. Dia disana dengan wajah teduh dibalik helm hitam yang ia gunakan.

Terlihat matanya yang bulat, hidung mancungnya dan senyum yang berekspansi di wajahnya ketika dia membukakan kaca helm, saat aku berjalan ke arahnya. “hey Bim, mentang-mentang udah kerja jadi sombong lo sekarang!!” ucapku. “jiah, bukanya gitu Kar, sekarang emang belum bisa banyak tingkah, maklumlah anak baru” ucap Bima sambil tertawa kecil. Bimapun menyerahkan sebuah helm hitam lain kepadaku. Segera ku naiki motor itu, tangan Bima siap di stank motornya, kami pun melaju.

Bima melaju dengan kecepatan yang begitu tenang 45km/jam di atas jalan beraspal yang lurus ke arah BIM. Hembusan angin megibaskan poniku hingga tercium aroma parfum yang digunakan Bima.
Aku   : “Bim, lo udah kayak cewek aja”
Bima : “apa?” (agak shock)
Aku   : “iya, wangi amat jenk,.. ckckck”
Bima : “ah lo Kar, biasa aja kok” (pipi merah merona)

Kami terus melaju dengan kecepatan yang masih sama seperti sebelumnya. Sesekali kulirik ke arah kaki Bima. Sandal butut itu masih saja ia pakai. Sandal yang aku belikan untuknya, ketika tiba-tiba sendalnya putus di tengah jalan, saat aku, dia dan teman-teman lainnya ke pantai Padang hari itu.
Aku    : “masih hidup ya sandal itu?”
Bima : “oo, masih lah Kar, kayaknya ni sandal ngerti lah siapa yang memberikannya padaku”
Aku   : “maksudnya?” (mengerutkan kening)
Bima : “iya, dia takut ma lo Kar, kalau putus, lo bisa ngamuk-ngamuk, bilang pemberian orang g dijaga, ckckck”
Aku   : “hihihihi, g gitu juga kali Bim, lebay lo" (sambil sedikit memukul pundak Bima)
Bima : “hahahahah, biasanya kan gitu”
Aku   : memukul pundak Bima sekali lagi

=====


Kini kami hampir sampai di persimpangan jalan masuk Ke BIM. Ada jembatan besar nan megah di atasnya. Jembatan khusus dari arah Bay Pass ke BIM. Jalanan masih ramai sore itu. Ada sebuah truk besar pengangkut barang datang dari arah Bay Pass dengan kecepatan tinggi. Kira-kira beginilah sketsanya:

Kami datang dari arah Lubuk Buaya menuju BIM, tepat di depan persimpangan. Henponku terus saja bergetar di saku kiri celanaku, sudah hampir tiga kali. Akhirnya ku minta Bima untuk menepi sebentar, siapa tahu itu telp penting. Segera ku cek panggilan masuk, itu adalah dari orang tuaku. Ku fikir, aku akan menelp beliau setelah kami tiba di bandara, sebab di jalanan sangat bising saat itu.

“yuk Bim, ntar aja gw telp nyokap” ujarku ke Bima. Belum sempat Bima menghidupkan mesin motornya, tiba-tiba terdenger gesekan keras di depan, aku segera menoleh ke arah sumber suara itu. Ku dapati sebuah motor ada di bawah truk besar tadi, memaksa dan menyeret motor itu menepi dengan kecepatan tinggi. Di sana ada seseorang ikut terseret di bawah motor, seseorang itu adalah sang pengemudi motor. Kulitnya punggunya dipaksa mengelupas karena gesekan keras itu hingga tulangnya yang putih terlihat, darah mengucur dari kepalanya karena hentaman keras ke jalan raya, salah satu kakinya terjepit diantara motor yang ia kemudikan di bawah truk di antara roda truk yang terus bergulir cepat. Dengan kaki terbujur kaku, aku terus lalui detik-detik yang mematikan itu, hingga truk tersebut akhirnya menabrak dan menghancurkan pembatas jalan.

Jantungku kini makin tidak karuan, tanganku begitu dingin, aroma darah begitu tajam, mataku tak berkedip, semua suara seakan lenyap dari telingaku. Aku tak tahu apa yang kini ku rasakan, apakah itu rasa takut, kegat, atau apalah. Ku hanya bisa melingkarkan tanganku erat di pinggul Bima dari belakangnya. Bima lalu mengajakku mendekat melihat apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya diam dan ikut saja dibawa melaju oleh motor Bima.

Sekarang kami di sana, jauh lebih dekat dari sebelumnya, kami di TKP. Aroma darah kian tajam merusak indera penciumanku. Dia disana, dengan seluruh badannya yang terkucur darah, tulang pungung belakangnya yang tampak jelas oleh mata telanjang, kulit kepalanya yang juga mengelupas, tangan dan kakinya yang lunglai, tak menghirup udara dan tak mampu berbuat apa-apa. ku genggam erat tangan Bima yang terasa dingin, mukaku pucat, kakiku tak sanggup lagi berdiri mempertahankan keseimbangan badanku meskipun sebuah gelang power balance melingkar di tanganku saat itu, aku hanya sedikit berucap dari bibirku yang kaku “Bim...” hingga aku tak sadarkan diri.

=====



Aku merasa begitu lemah. Pernahkah kamu merasa ingin sekali bangun dari tidurmu tapi tak bisa?, dimana saat kamu dalam tidurmu tak mampu menggerakkan tanganmu, mereka terasa begitu berat, bibir juga terasa begitu kaku, padahal kamu ingin sekali berucap. Itulah yang aku rasakan saat itu.

Suara-suara kecil terdengar di telingaku, memanggil-manggil namaku, ditambah lagi dengan sentuhan di pundak yang merasukiku, semakin lama suara itu semakin jelas dan dapat ku cerna “Kar,.. Kar,.. Karaaaaaa,..” teriak Nia dengan tanganya di pundakku bermaksud untuk menyadarkanku,.. “iya,,” jawabku singkat sambil mengucek sedikit sepasang mataku yang sayu. “lo tidur uda kayak kebo aja Kar, tuh, si Bima di luar,..” ujarnya dengan nada tidak enak, mungkin karena dia sudah terlalu lama berdiri di sana, berusaha dengan keras untuk membangunkanku. “kata Bima kalian mau ke Bandara, mengantar temennya ke Purwokerto sore ini?” tambah Nia, “Ohya, ya, huft, Alhamdullah “ balasku dengan sedikit kaget dan hati lega. Nia makin heran melihat raut mukaku yang girang.


The End