Monday, 7 March 2011

Bukan Final Destination

Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, tempat, atau kejadian, itu hanya kebetulan semata.

Kumandang adzan asar membangunkan ku dari tidur siangku yang panjang. 15:45 WIB jam digital di henpon silver ku. Hari ini adalah minggu, aku teringat akan janjiku dengan seorang teman untuk menemaninya ke Bandara Internasional Minangkabau (BIM), mengantarkan kepergian temannya ke Purworerto, salah satu Kota di Pulau Jawa, aku tak tahu dimana tepatnya.

Ku segera beranjak dari tempat tidurku yang tidak lagi empuk. Kapas kapuk di dalamnya sudah menyusut dan tua seiring berjalannya waktu. Sprei biru langit garis-garis menghiasinya, membuat ia terlihat begitu teduh dan sama sekali tidak menyejukkan mata. Kusut dan berantakan, itu yang kudapati sejauh ini tentang kasur kapuk itu.

Mimpi di siang bolong adalah penyebabnya. Semua seakan begitu konkrit. Memaksa tubuhku ikut merespon semua kejadian di mimpi ke kehidupan nyataku. Jantungku berdegup cepat, badanku meronta-ronta ditemani dengan deraian air mata. Begitulah ungkap teman satu kosanku Nia dengan wajah bingung melihat tingkahku ketika tidur itu kulalui, tanpa sedikitpun niat darinya untuk membangunkan aku. Dia begitu tidak peka terhadap situasi. Asumsiku, saraf responnya mungkin sudah disuspensi.

=====


Ba’da asar, saat itulah dia akan menjemputku. Aku sudah siap dengan jeans biru terang dan T-Shirt putih bertuliskan “Toraja - south Sulawesi” pemberian teman kuliahku ketika ia ke Makasar. Aku tidak suka menggerai rambutku, aku fikir rambutku itu tak sejalan lagi dengan gravitasi, mereka semua seakan ingin terbang melawan gravitasi, hingga membuatku berantakan. Lalu, ku ikatkan mereka semua tinggi kebelakang, dengan ikat rambut hitam minimalis kesayanganku. Hmmm, semua terlihat harmonis dengan sandal jepit putih dan jam tangan putih melingkar ditanganku, begitu kontras dengan kulit kuning langsatku.

Jemariku menekan tombol-tombol kecil henpon silverku. “gw siap”, itulah pesan singkat yang kukirimkan kepada temanku. Ku tunggu dia sambil mendengar lagu-lagu Sheila On 7 yang kusukai dan ku simpan di MP3 henponku. Kaki dan kepalaku ikut bergoyang siring irama lagu (menggoyangkan kepala: aku teringat capung). Sesekali ku kibaskan poni lurus di jidatku ke arah kiri di atas hidungku yang pesek, layaknya pemeran centil sinetron striping.

“tet tet”, terdengar bunyi klakson di depan rumah. Aku segera berjalan keluar, mendapati temanku di sana dengan motor matic hitamnya. Begitu serasi dengan T-Shirt hitam yang iya gunakan dengan jeans dongker. Dia disana dengan wajah teduh dibalik helm hitam yang ia gunakan.

Terlihat matanya yang bulat, hidung mancungnya dan senyum yang berekspansi di wajahnya ketika dia membukakan kaca helm, saat aku berjalan ke arahnya. “hey Bim, mentang-mentang udah kerja jadi sombong lo sekarang!!” ucapku. “jiah, bukanya gitu Kar, sekarang emang belum bisa banyak tingkah, maklumlah anak baru” ucap Bima sambil tertawa kecil. Bimapun menyerahkan sebuah helm hitam lain kepadaku. Segera ku naiki motor itu, tangan Bima siap di stank motornya, kami pun melaju.

Bima melaju dengan kecepatan yang begitu tenang 45km/jam di atas jalan beraspal yang lurus ke arah BIM. Hembusan angin megibaskan poniku hingga tercium aroma parfum yang digunakan Bima.
Aku   : “Bim, lo udah kayak cewek aja”
Bima : “apa?” (agak shock)
Aku   : “iya, wangi amat jenk,.. ckckck”
Bima : “ah lo Kar, biasa aja kok” (pipi merah merona)

Kami terus melaju dengan kecepatan yang masih sama seperti sebelumnya. Sesekali kulirik ke arah kaki Bima. Sandal butut itu masih saja ia pakai. Sandal yang aku belikan untuknya, ketika tiba-tiba sendalnya putus di tengah jalan, saat aku, dia dan teman-teman lainnya ke pantai Padang hari itu.
Aku    : “masih hidup ya sandal itu?”
Bima : “oo, masih lah Kar, kayaknya ni sandal ngerti lah siapa yang memberikannya padaku”
Aku   : “maksudnya?” (mengerutkan kening)
Bima : “iya, dia takut ma lo Kar, kalau putus, lo bisa ngamuk-ngamuk, bilang pemberian orang g dijaga, ckckck”
Aku   : “hihihihi, g gitu juga kali Bim, lebay lo" (sambil sedikit memukul pundak Bima)
Bima : “hahahahah, biasanya kan gitu”
Aku   : memukul pundak Bima sekali lagi

=====


Kini kami hampir sampai di persimpangan jalan masuk Ke BIM. Ada jembatan besar nan megah di atasnya. Jembatan khusus dari arah Bay Pass ke BIM. Jalanan masih ramai sore itu. Ada sebuah truk besar pengangkut barang datang dari arah Bay Pass dengan kecepatan tinggi. Kira-kira beginilah sketsanya:

Kami datang dari arah Lubuk Buaya menuju BIM, tepat di depan persimpangan. Henponku terus saja bergetar di saku kiri celanaku, sudah hampir tiga kali. Akhirnya ku minta Bima untuk menepi sebentar, siapa tahu itu telp penting. Segera ku cek panggilan masuk, itu adalah dari orang tuaku. Ku fikir, aku akan menelp beliau setelah kami tiba di bandara, sebab di jalanan sangat bising saat itu.

“yuk Bim, ntar aja gw telp nyokap” ujarku ke Bima. Belum sempat Bima menghidupkan mesin motornya, tiba-tiba terdenger gesekan keras di depan, aku segera menoleh ke arah sumber suara itu. Ku dapati sebuah motor ada di bawah truk besar tadi, memaksa dan menyeret motor itu menepi dengan kecepatan tinggi. Di sana ada seseorang ikut terseret di bawah motor, seseorang itu adalah sang pengemudi motor. Kulitnya punggunya dipaksa mengelupas karena gesekan keras itu hingga tulangnya yang putih terlihat, darah mengucur dari kepalanya karena hentaman keras ke jalan raya, salah satu kakinya terjepit diantara motor yang ia kemudikan di bawah truk di antara roda truk yang terus bergulir cepat. Dengan kaki terbujur kaku, aku terus lalui detik-detik yang mematikan itu, hingga truk tersebut akhirnya menabrak dan menghancurkan pembatas jalan.

Jantungku kini makin tidak karuan, tanganku begitu dingin, aroma darah begitu tajam, mataku tak berkedip, semua suara seakan lenyap dari telingaku. Aku tak tahu apa yang kini ku rasakan, apakah itu rasa takut, kegat, atau apalah. Ku hanya bisa melingkarkan tanganku erat di pinggul Bima dari belakangnya. Bima lalu mengajakku mendekat melihat apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya diam dan ikut saja dibawa melaju oleh motor Bima.

Sekarang kami di sana, jauh lebih dekat dari sebelumnya, kami di TKP. Aroma darah kian tajam merusak indera penciumanku. Dia disana, dengan seluruh badannya yang terkucur darah, tulang pungung belakangnya yang tampak jelas oleh mata telanjang, kulit kepalanya yang juga mengelupas, tangan dan kakinya yang lunglai, tak menghirup udara dan tak mampu berbuat apa-apa. ku genggam erat tangan Bima yang terasa dingin, mukaku pucat, kakiku tak sanggup lagi berdiri mempertahankan keseimbangan badanku meskipun sebuah gelang power balance melingkar di tanganku saat itu, aku hanya sedikit berucap dari bibirku yang kaku “Bim...” hingga aku tak sadarkan diri.

=====



Aku merasa begitu lemah. Pernahkah kamu merasa ingin sekali bangun dari tidurmu tapi tak bisa?, dimana saat kamu dalam tidurmu tak mampu menggerakkan tanganmu, mereka terasa begitu berat, bibir juga terasa begitu kaku, padahal kamu ingin sekali berucap. Itulah yang aku rasakan saat itu.

Suara-suara kecil terdengar di telingaku, memanggil-manggil namaku, ditambah lagi dengan sentuhan di pundak yang merasukiku, semakin lama suara itu semakin jelas dan dapat ku cerna “Kar,.. Kar,.. Karaaaaaa,..” teriak Nia dengan tanganya di pundakku bermaksud untuk menyadarkanku,.. “iya,,” jawabku singkat sambil mengucek sedikit sepasang mataku yang sayu. “lo tidur uda kayak kebo aja Kar, tuh, si Bima di luar,..” ujarnya dengan nada tidak enak, mungkin karena dia sudah terlalu lama berdiri di sana, berusaha dengan keras untuk membangunkanku. “kata Bima kalian mau ke Bandara, mengantar temennya ke Purwokerto sore ini?” tambah Nia, “Ohya, ya, huft, Alhamdullah “ balasku dengan sedikit kaget dan hati lega. Nia makin heran melihat raut mukaku yang girang.


The End

No comments:

Post a Comment