Monday 19 September 2011

Dilema

Antara harapan yang tak mungkin
Dan kemungkinan yang diabaikan
Setimbun sesal yang pahit
Dan serentetan nostalgia yang manis
Berperang dalam satu pertempuran
Dimana kemenangan mutlak mustahil bertapak
Karena kalau tidak hancur jadi abu
Maka terpangganglah jadi arang

Rumah Batin

Melalui hidup penuh liku
Ku carimu dalam diam mata batin
Sepenggal bulan di langit tinggi memberiku bimbang dari pagi ke pagi

Ufuk merah menunda harapan yang pergi
Sebenarnya kita tak saling sapa dalam hati
Ku jemu berkata-kata sendiri
Menahan intifada dalam gemuruh luka
Semakin ku tekan, semakin membisik
Semakin terus semakin membiak

Lalu kau dimana?
Tak datang tak pulang
Pada rumah batin yang kita bangun
Pintu-pintunya yang terkuak lantai bersatu luka
Tak siapa mengetuk tak siapa masuk
Sedang aku di tangga menunggu

Waktu

Sekonyong waktu, tiba-tiba lenyap lewat lorong-lorong dan hari-hari,
Bak gelombang badai merenggut bumi,
Menunjukkan betapa aku pernah mencintaimu sebelum mengenalmu.

Adalah matamu, labirin air, tanah, api, udara,
Yang ku cintai kala ku bayangkan yang ku cintai.
Adalah milikmu, suaramu yang mengucap kata-kata kehidupan.
Adalah wajahmu.
Adalah kulitmu.

Sebelum mengenalmu, kau berada di pepohonan dan pegununan dan gulungan awan yang ku saksikan di ufuk senja.
Begitu jauh dari ku,
Dalam diriku, kau adalah cahaya.