Monday 31 October 2011

Bercak

"Apakah aku buta?"
Aku masih mampu menggoreskan tinta ini
Ku tanyakan pertanyaan ini padamu
"kamu bahkan mampu melototi semut yang bertegur sapa di ujung lorong ini" jawabnya

Mataku bahkan tak mampu melihat bercak di kaos putihmu
Bagaimana mungkin aku memiliki mata yang jernih
Sejernih embun pagi?
Aku bahkan tak tahu warnanya

Seberkas cahaya darimu
Aku tau akan keberadaan bercak itu
Tanpa tau posisinya
Meskipun ku gunakan GPS
Tapi sepertinya sinyal sengaja kau pengaruhi untuk mogok kerja

Dengan tangan dinginmu
Bawalah tanganku ke sana
Mengetahui kebereradaan bercak itu
Kan ku bawakan untukmu semprotan pembersih
Menerima dirimu seutuhnya
Pikirku

Sejauh ini hanya keinginan
Menunggu perwujutannya
Selama itu,
Semoga akau akan selalu mampu baik-baik

Friday 28 October 2011

Hanya Diam

Tiada seorangpun yg mengajariku rasa itu,
Tiba-tiba sayatan pisau tajam menyerangku
Menggoreskan luka kecil di sana
Sayatan cemburu mungil
Tetapi bak serangan raksasa berhati
Yang dengan sadar tidak lagi mengindahkan hatinya
Untuk sebuah goresan luka
Darah tertahan, aku hanya diam
Ingin menyembur keluar dan meluap-luap
Tapi aku segera melakukan aksi tutup mulut
Tidak menghiraukan mereka
Karena diamku cemburuku

Monday 19 September 2011

Dilema

Antara harapan yang tak mungkin
Dan kemungkinan yang diabaikan
Setimbun sesal yang pahit
Dan serentetan nostalgia yang manis
Berperang dalam satu pertempuran
Dimana kemenangan mutlak mustahil bertapak
Karena kalau tidak hancur jadi abu
Maka terpangganglah jadi arang

Rumah Batin

Melalui hidup penuh liku
Ku carimu dalam diam mata batin
Sepenggal bulan di langit tinggi memberiku bimbang dari pagi ke pagi

Ufuk merah menunda harapan yang pergi
Sebenarnya kita tak saling sapa dalam hati
Ku jemu berkata-kata sendiri
Menahan intifada dalam gemuruh luka
Semakin ku tekan, semakin membisik
Semakin terus semakin membiak

Lalu kau dimana?
Tak datang tak pulang
Pada rumah batin yang kita bangun
Pintu-pintunya yang terkuak lantai bersatu luka
Tak siapa mengetuk tak siapa masuk
Sedang aku di tangga menunggu

Waktu

Sekonyong waktu, tiba-tiba lenyap lewat lorong-lorong dan hari-hari,
Bak gelombang badai merenggut bumi,
Menunjukkan betapa aku pernah mencintaimu sebelum mengenalmu.

Adalah matamu, labirin air, tanah, api, udara,
Yang ku cintai kala ku bayangkan yang ku cintai.
Adalah milikmu, suaramu yang mengucap kata-kata kehidupan.
Adalah wajahmu.
Adalah kulitmu.

Sebelum mengenalmu, kau berada di pepohonan dan pegununan dan gulungan awan yang ku saksikan di ufuk senja.
Begitu jauh dari ku,
Dalam diriku, kau adalah cahaya.

Saturday 2 July 2011

Hafla

Kamis 14:55 WIB. “Anda kembangkan lagi design yang telah anda buat tadi, 2 minggu lagi anda presentasikan” gumam Pak Joko tegas. Kumis tebal di atas bibir beliau ikut bergetar memecah suasana sepi di kelas saat itu, tak lupa beliau mengangkat sedikit celana di dekat perut beliau yang tidak bisa dikatakan buncit. Dosen dengan postur tinggi ini adalah dosen yang dianggap killer oleh Mahasiswanya di Fisika. Badannya yang tegap semakin menyakinkan kami untuk sangat menyegani beliau.

Suasana yang bising menggema di semua sudut kelas kami, mengeluhkan tugas berat yang diberikan Dosen Fisika Komputasi itu. Pak Joko kembali menambahkan ucapannya seraya melangkahkan kaki menuju ambang pintu “Akan ada reward untuk presentasi terbaik”. Kebisingan kelas sedikit berkurang. Terlihat wajah teman-teman yang serius, berbisik seperti membicarakan reward apa kira-kira yang akan disugukan Pak Joko kali ini. Tahun kemaren beliau memberikan posisi asisten dosen mata kuliah Fisika Komputasi. Posisi ini didapatkan  oleh seorang mahasiswa dengan design web terbaik, content melimpah dan aplikasi yang beragam. Raut serius teman semakin menjadi-jadi memikirkan design terbaik apa yang akan mereka sajikan di depan Pak Joko. Hanya aku saja yang dengan tampang bloon di kursi paling belakang menatap kelangit-langit kelas, dengan lampu neon putih panjang di sekitar sana. “Woiii” Alif mengagetkanku.

====

Jam dinding kamar Hafla menunjukkan 15:15 WIB, Kamis. Aku segera merebahkan badanku di lantai yang begitu sejuk. Aku berniat melepaskan penatku setelah seharian bergelut dengan tumpukan ilmu yang secara represif memaksa memori otakku menyimpan semuanya.

Temanku dengan tampangnya yang tak karuan – rambut keriting g jelas acak-acakan, celana pendek dengan motif penari hula berwarna kuning menyala; celana favorit, T-Shirt coklat bertuliskan “ALOHA”; aku tak mengerti mengapa keduanya begitu harmonis, potongan wajah yang membuat banyak pria tergila-gila; bibir tipis, hidung tak begitu mancung, ku sebut oriental dengan sentuhan kulitnya yang putih – menyerahkan bantal yang lagi-lagi telah ia lukiskan peta di atasnya kepadaku. Aku tidak akan bertanya peta apa yang ia buat kali ini, aku hanya berkata “thanks”.

Aku dan Hafla adalah teman semenjak SMA hingga sekarang, masih sama. Dia adalah orang yang tau bagaimana aku. Dia tau aku orang yang tidak suka berbicara tentang asmara, tidak phobia kegelapan ataupun ketinggian, tapi bisa teriak g jelas kalau ketemu kecoa, dia tau aku suka ngupil kalau bangun tidur.

Kata-kata yang sering ia ucapkan saat aku terjaga dari tidurku dengan tampang kucel, rambut lurus acak-acakan, poni berantakan, hidung mungil (halah), kulit kuning langsat, bibir yang g bisa disebut sexy, mata yang juga tak bisa disebut bulat ataupun sipit “iiiih lo ngupil lagi! Jorok ih!, kok si Alif mau ya ama lo?, Sial amat dia”, “iya ya, si Amat aja g sial,..” jawabku.

Cewek oriental itupun bertanya padaku “masih ada kuliah?”, “engga” jawabku tipis. Hafla kembali berkutak dengan mesin canggih di depannya. Mesin yang selama ini telah membantu ia menyelesaikan banyak tugas kuliahnya. Ku perhatikan dia dengan lincah mengklik-klik mouse di tangan kanannya dan keyboard di tangan kirinya, dengan mata lelah yang terhalang kaca berarah ke sana.

Mataku kini tertuju ke LCD di depan Hafla, penuh dengan design kotak-kotak ruangan yang tak ku mengerti di sana. Sejenak ku lihat sekeliling, tak ku dapatkan makhluk lain selain kami berdua di bangunan dua lantai ini. “teman kosanmu mana Haf?” Tanyaku, “Oh Hesi?, dia mudik, katanya neneknya meninggal dunia, yg lain kuliah mungkin”, “Innallilah” jawabku dengan mata yang mulai meredup. Aku benar-benar harus mengkalibrasi otakku sejenak, paling tidak hingga azan asar berkumandang.

Belum lagi aku memejamkan mata, dua kali getaran di saku celana mengagetkanku, ada satu pesan tertulis di sana
>> Ti, si Bayu ama Dayat ngjak hking ke Gnung Kapas, km ikt g? jgn lpa ajk Hafla sXan << sender: Alif kribo
>> emg mau ksna kpn? << sender: Siti
>> Sbtu bsok << sender: Alif kribo
>> ak tanya Hafla dl y,.. << sender: Siti
>> sgra kabarin y, bsk udh ad kpastian dr klian << sender: Alif kribo
>> sip!! << sender: Siti
Dari dulu, aku memang sangat ingin hikking, bertualang, menikmati dinginnya malam di ketinggian ±2000 mdpl memandang indahnya matahari terbit saat ku membuka mata di pagi itu. Momen indah itu akan aku dokumentasikan, upload di jejaring sosil, blog, itu adalah hal pertama yang akan aku lakukan setelahnya. Hanya saja teman-teman SMAku tak ada yang suka.

Pas kuliah, ketemu Alif, cowok kriting dengan tampang pas-pasan, body atletis karena sering bermain futsal, berlenggang ke kampus menggunakan vespa butut jelek warisan bapaknya. Kami satu angkatan, jurusan Fisika sama denganku. Dia bukanlah cowok berpenampilan rapi, tapi enak dipandang mata. Dia bukanlah cowok yang selalu ada tisyu dan hand cleaner gel di dalam tasnya, tapi dia bersih. Dia memang bukan cowok romantis, tapi dia tidak dingin seperti batu es hingga terkesan introvert. Dia tidak begitu.

Dia pria baik, dia ada saat aku sulit dan senang, saat aku sedih dan gembira. Dibandingkan saat aku sedih, aku akan lebih membutuhkannya saat aku senang dan gembira. Kesedihan bisa saja aku lewati dengan kesendirian, tapi akan lebih tragis jadinya jika saat senang, tak ada orang di sampingku yang ikut merasakan kebahagiaanku.

Aku memang bukan gadis pertama dalam hidupnya, tapi dia pertama bagiku. Bagiku, aku beruntung telah menemukannya, tanpa tahu apakah ia begitu sial dan menderita karena berada di sampingku, mudah-mudahan itu hanya asumsiku saja.

=====

Adzan asar itu berkumandang dari sebuah pengeras suara di mesjid dekat kosan Hafla. Badanku terasa berat untuk bangun dari tidurku. Hal pertama yang aku lakukan adalah memainkan jari kelingkingku ke arah lubang hidungku. “Tuh kan, ihhh, sono gih di kamar mandi, jorok ih” ujar Hafla ketus kepadaku. Dengan sebuah handuk hijau motif kartun spongebob milik Hafla, aku berjalan melewati lorong sempit menuju kamar mandi di ujung lorong. Air membasahi sekujur tubuhku, membuat hati ku pun terasa sejuk. Kesejukan yang kurasakan di tengah panasnya kota ini. Hingga akhirnya kubaluti dengan mukena dan bawahan putih milik Hafla, di atas sajadah berwarna merah.

“aku pulang sekarang ya Haf” ujurku tipis sambil mengikat rambut lurusku tinggi ke belakang. “oh ya” balas Hafla.

Kosanku berada tidak jauh dari kosan Hafla. Kami sengaja tidak berada di kos yang sama. Alasannya masih klasik, dana. Menurut akumulasi matematika dan ekonomi, jika kami tinggal di satu kos yang sama, akan memberatkan bagi salah satu pihak. Kampus kami berbeda, jaraknya pun memang tidak bisa dikatakan jauh, tapi akan sangat melelahkan untuk menggapainya hanya dengan berjalan kaki. Jaraknya ±4km dari kampusku. Jadi, jika kami kos bersama-sama di sekitar kampus Hafla, tentu akan memberatkan aku, begitu pula sebaliknya. Maka, kami memilih tinggal terpisah. Sisi positifnya: mengundang masuk lebih banyak orang ke dalam daftar teman, dan tidak ada biaya yang dikeluakan sebagai ongkos menuju kampus, cukup dengan berjalan kaki saja, karna jarak masing-masing kosan kami menuju kampus masing-masing tidak sampai 1 km, hmmm begitu terjangkau.

Aku sering mampir di kosan Hafla selepas kuliahku usai. Melepaskan penatku bersama dia, Hafla si cewek oriental. Dia orang yang terkesan cuek, tapi begitu peduli dengan sekitar. Pernah ketika dia hanya membawa uang pas-pasan untuk membeli makan siangnya, ada seorang perempuan tua dengan tampang kusut dan menyedihkan datang bermaksud memperoleh makanan di tempat yang sama, hanya saja perempuan itu tak membawa uang yang cukup. Hafla lalu menyerakan lembaran dua puluh ribuan ke tangan perempuan tua itu. Itu lah Hafla.

=====

Sembari menatap layar LCD di depanku, aku mencoba-coba mendesign tugas yang diberikan Pak Joko tadi siang. Ku coba menambahkan aplikasi-aplikasi yang lain, tapi aku sepertinya butuh bantuan. Aku masih tidak mengerti bagaimana cara menambahkan aplikasi-aplikasi yang ku inginkan itu ke dalam sebuah notepad. Aku mengambil keputusan untuk bertanya kepada sang juru kunci “Mbah Google”, berselancar sebentar di internet. Secara tak sengaja ku membaca sebuah artikel tentang hiking. Tiba-tiba aku teringat sms Alif tadi sore. Aku baru sadar kalau aku lupa menanyakan tentang hal ini kepada Hafla. Uh, bodohnya aku.

Ku raih sebuah mesin kecil canggih dari atas kasurku. Mesin yang bisa membantu ku berkomunikasi, mendengarkan suara, mengirimkan pesan singkat, bahkan berselancar di internet. Aku pun mulai bermain dengan mesin ini.
>> Haf, ak lupa ngsih tau km td. Si Alif, Bayu ama Dayat ngajak Hiking, km ikut ya?? << sender: Siti
Cukup lama ku menunggu balasan pesan singkat dari Hafla. Aku tau Hafla adalah orang yang sangat berkonsentrasi dengan satu hal. Dia akan mengabaikan hal lainnya, jika hal yang sedang ia kerjakan belum selesai.

1 jam setelah pesan singkat ku kirimkan ke Hafla, terdengar dering nada pesan masuk dari mesin kecil itu.
>> hmm, kmn? Kpn? << sender: Hafla
>> sbtu bsk, k Gnung Kapas << sender: Siti
>> wow, knp begitu mendadak? << sender: Hafla
>> g tau, Alif blg gt. Ak pngen bgt prg Haf,.. Kpn lg?? << Sender: Siti
>> pdhal hri mingguny Hesi mnta dtmenin bli spatu lo << Sender: Hafla
>> ayolah Haf, Hesi ama tmnny yg laen aj. Kn g mngkn ak cew sndrian. Lgian kta Alif msti ngjak kmu << sender: Siti
>> hmm, ak pngen jg c. Ok lah klw bgtu << Sender: Hafla
>> waaa, Hafla is d bst dah,,, muach *d bibir ^_^ << Sender: Siti
>> ih najis gw dicium ama kmu Ti, ak masi normal!!... << Sender: Hafla
>> Hihihi << Sender: Siti
Aku kembali dengan LCD di depanku.

=====

Jum’at 08:40 WIB, aku tiba di kampus. Tampak Alif dan Hafla di bawah pohon rindang yang sengaja disediakan kursi di bawahnya. “ohh, ternyata Alif udah di sini. Tumben hari ini g jemput” ujarku dalam hati. Segera ku langkahkan kaki ku menuju pohon rindang itu. Serasa semilir angin pagi yang begitu menyejukkan hati. Mereka menoleh ke arahku, memandang dari kejauhan, perempuan dengan kemeja coklat kotak-kotak, jeans hitam panjang, dan sepatu flat hitam di kakinya, melambai-lambaikan tangan ke arah mereka. Ku betulkan tas selempang yang ku gunakan, sambil berlari-lari kecil kesana hingga membuat ikatan rambutku bergoyang ke kiri dan ke kanan.

“eh ada Hafla di sini” ucapku singkat. “iya, tadi Alif nyuruh aku ke sini” jawab Hafla. “kita kan mau bicarain tentang Hiking besok, berhubung Hafla katanya g da kuliah, ya aku jemput aja, dan bawa ke sini” tambah Alif, “ohh, tadi jemput Hafla ta” balasku lagi dan Alifpun menganggukkan kepalanya sedikit.

“bentar lagi kan kita ada kelas Lif” ujarku, “ya cuma 2 sks, Hafla tunggu di sini aja dulu, bentar lagi Dayat ama Bayu datang kok” tutur Alif ke Hafla, “Okeh, sip!” jawab Hafla sambil melingkarkan telunjuk dan jempolnya membentuk huruf “O” ke arah kami. “oke, kalau gitu kami masuk dulu ya Haf” tambah Alif lagi sambil menepuk kecil pundak Hafla, dengan sedikir heran akan sikap Alif, aku pun sedikit menambahkan “yuk Haf”, “sip!” jawab Hafla.

Aku dan Alif jalan bersama, meninggalkan Hafla di bawah pohon rindang itu sendirian. Ku tolehkan pandanganku sebentar ke arahnya. Kelihatannya dia sedang memutarkan sebuah lagu dari MP3 player kecil miliknya. Dia terlihat asik di sana, dengan sedikit menggoyang-goyangkan kepala dan kakinya, mengikuti irama musik yang sedang ia nikmati. “Bayu dan Dayat bakal kesini juga?” tanyaku ke alif, “iya” jawab Alif singkat, “emang mereka g ad kuliah?” tanyaku lagi “ada, ntar siang katanya”, “ohh”

=====

Kami sekarang di kelas. Dosen mata kuliah belum juga datang. Ku memilih duduk di dekat jendela. “jadi tadi jemput Hafla ya? Kok g bilang ke aku sih? aku kan jadi g nunggu” aku berintrogasi, “aduh maaf ya, tadi pas mau brangkat Hafla telp, nanyain tentang hikking kita, ya udah, ku suruh datang ke sini aja, biar kita semua ketemu. Aku jemput sekalian” jelas Alif, “tapi kok g telp atau sms aku kek?” tanyaku ketus, “rencananya abis jemput Hafla mo jemput kamu Ti, tapi pas ngobrol ama Hafla jadi lupa deh, lagian kosan kamu kan deket sini, bias jalan kaki kn?”, “iya sih” balasku sinis.

Dosen kamipun masuk, sekilas ku lihat Hafla dari kaca jendela di sampingku. Dia disana dengan Bayu dan Dayat, anak teknik elektro teman dekat Alif. Mereka terlihat tertawa riang di sana. Aku, Alif dan anak yang lain mengikuti kuliah yang dipaparkan oleh dosen di depan.

=====

Kami sepakat akan hikking dan camping ke Gunung Kapas besok, Sabtu 10:00 WIB. Akan menempuh perjalanan kurang lebih 5 jam untuk sampai ke puncak gunung. Jadi kami berangkat lebih pagi agar tidak kemalaman setibanya di sana. Kami sepakat akan berkumpul di kosan Bayu dan Dayat yang tinggal di satu rumah kos esok harinya sebelum jam 10.

Hari ini kami mempersiapkan keperluan-keperluan apa yang harus dibawa, karna kami kan harus menginap, paling tidak semalam. Tentu saja juga diperlukan pembagian tugas. Aku dan Hafla bertugas membawa bekal makanan, beserta persediaan untuk besok pagi, membawa sejenis peralatan masak kecil, seperti sebuah periuk kecil, dan lain-lain. Dayat dengan badannya yang kekar membawa dua buah tenda, Bayu si cowok berkacamata mendapat tugas membawa terpal sebagai alas untuk tidur, Alif membawa sejumlah tali pengikat, satu buah kompor gas mini beserta gasnya dalam sebuah botol ukuran 600 ml, beserta berbagai keperluan lainnya yang dirasa sangat perlu. Kami mengakhiri diskusi kami, berhubung kaum Adam wajib melaksanakan Ibadah shalat Jum’at hari itu.

=====

Aku dan Hafla sudah di kosan Bayu dan Dayat. Alif belum datang. Katanya dia terjebak macet, karna ada kecelakaan di persimpangan jalan. Kami mengecek lagi apa-apa saja yang kami bawa, dan memastikan agar tidak ada keperluan penting yang tidak kami bawa bersama.

Terdengar nada panggilan masuk dari ponsel Hafla. Kami tidak menghiraukannya. Nada itu kembali terdengar hingga ke ruang tamu dimana kami berada, “tolong angkat Ti” teriak Hafla dari kamar mandi. Aku berjalan menuju sebuah meja di dekat kamar Bayu. Belum lagi aku mendapatkan ponsel itu, nada itu tak lagi terdengar. Sekarang terdengar nada pesan masuk. “one message from Alif”, tulisan itu yang kudapatkan di layar LCD ponsel Hafla. Aku lantas membukanya karna tahu itu pesan dari Alif.
>> udh g kok, ne udah jlan, ntar lgi nyampe sna bebz << sender: Alif
Bebz??” sesuatu berkecamuk di otakku. Ku putuskan untuk membuka pesan terkirim dari ponsel Hafla,
>> msih mcet ya bebz?? Yg laen dah pda nungguin tuh << Sender: Hafla
“apa sebenarnya yang terjadi disini?” ujarku dalam hati. Perasaan Marah, sedih, kecewa, dan kaget berkecamuk di dalam otakku. Begitu banyak pertanyaan di sana. “apakah Alif dan Hafla ...??, mengapa mereka tega??, apa alasannya??, mengapa harus Alif dan mengapa Hafla??”. “mungkin mereka cuma bercanda aja kali, biasalah kami bertiga kan dekat” ujarku dalam hati, bermaksud untuk membunuh semua prasangka burukku terhadap apa yang terjadi di depanku sekarang. “ya, mungkin begitu” tambahku lagi dalam hati

“Huft” eluh ku sambil mengusap-usap dadaku. “siapa Ti?” ujar Hafla tiba-tiba mengagetkanku. “Oh tadi si Alif telp, tapi udah mati sebelum sempat ku angkat” jawabku terbata-bata sambil menyerahkan ponsel tersebut ke Hafla. “oh gitu” balas Hafla Singkat. Aku segera berlari keluar, mendapati Bayu dan Dayat di sana.

Dari ujung jalan terlihat Alif dengan senyum lebar mengembang di wajahnya yang teduh, mengenakan T-Shirt hitam, jeans bitu tua dengan ransel besar di punggung nya. Ransel itu kelihatan padat, hingga memaksa jalannya sedikit membungkuk dengan langkah satu persatu. Tapi aku tak lagi memandangnya seperti Alif yang aku kenal selama ini. Dia terlihat berbeda di mataku sekarang, aku tak yakin apakah ini Alif yang mengirimkan pesan singkat kepada Hafla, atau memang kebetulan nama mereka sama dan orang yang berbeda. “oh, mungkin saja” eluhku dalam hati. “Tapi, tidak mungkin isinya juga kebetulan”, begitu banyak hal negetif tenteng mereka di otakku, tapi tersela di antara pikiran positif yang berusaha kutanamkan di atas semua ini.

“ahh, akhirnya kamu nyampe sini juga” ujar Bayu seketika Alif melangkahkan kakinya di teras. “macet bro” balas Alif. Dia melemparkan senyum manisnya padaku dan menanyakan pertanyaan yang tak ku inginkan “Hafla kemana? Udah nyampe sini kan?”, “tu di dalam” jawabku tipis. Hafla lah orang pertama yang iya tanyakan setelah sampai disini. Padahal sejak pagi kemaren, dia tak lagi menelp ataupun mengirimkan pesan singkat padaku. Bahkan hanya untuk mengabarkan kalau dia tidak akan menjemputku pagi itu. Pesan singkat yang ia kirimkan ke Hafla lagi-lagi mengganggu pikiranku.

“eh, kapan datang Lif” tanya Hafla yang tiba-tiba muncul dari ambang pintu. “Baru aja” jawab Alif. Alifpun memberi semacam pengarahan kecil kepada kami (aku dan Hafla yang belum pernah sama sekali mendaki gunung), agar nantinya kami tidak bingung. Aku tidak begitu seksama menyimak ucapan yang keluar dari bibir tipis Alif, aku hanya memandang wajahnya dengan rasa tak percaya.

======

Kami sekarang di kaki gunung. Tepat di atas kami ada tulisan “Selamat Datang di Objek Wisata Gunung Kapas” pada gerbang pintu masuknya. Ada baliho-baliho di kanan kiri gerbang ini. Isinya tentang semacam peraturan yang harus dipatuhi selama pendakian, ada pula sejumlah keterangan tentang Gunung yang ada di depan kami, atau semacam biografinya, serta sejumlah larangan yang tidak boleh dilakukan oleh seorang pendaki selama melakukan pendakian.

“Ayuk kita kemon...” teriak Alif membabi-buta. Dengan mengucapkan bismillahirrahma nirrahim kami memulai pendakaian kami. Alif berada di urutan terdepat kelihatan begitu semangat melangkahkan kakinya. Matanya fokus ke depan. Aku berada tepat di belakangnya, mengiringi langkahnya. Kemudian di belakangku menyusul Hafla, Bayu dan Dayat.

To be continued

Dispenser

Titik-titik air itu semakin terdengar radikal dan begitu menggebu-gebu di atas atap rumahku. Memaksa aku untuk membuka mata sayuku (halah). Masih dengan mata sayu itu, ku lirik sedikit jam di dinding kamarku yang berwarna bak hutan hujan yang teduh (ku sebut hijau pucuk). Tak dapat ku rasakan kesegarannya, meskipun sang raksasa bulldog di sampingku yang acap kali ku peluk, selalu melemparkan senyuman obsesifnya.

Ku singkap sedikit kain tebal yang membaluti tubuh kurusku, hingga dapat ku fokuskan pandanganku sepenuhnya ke arah jam dinding itu. Ku dapati angka 2 am di sana. Ku tarik lagi kain tebal itu ke sekujur tubuhku. Berusaha keras aku memposisikan tubuhku agar menjadi hangat, namun kain itu tak lagi cukup untuk menghangatkan, karna dingin itu kian merasukiku.

Menggunakan gaya dokter gadungan yang sedang mendiagnosa pasiennya yang mengeluh sakit, ku tempelkan punggung tangan kananku ke dahiku sendiri (mulai berfikir: “yang dokter siapa? Dan pasiennya siapa?”). Oh waw, singkat kata, suhu tubuhku sudah cukup digunakan untuk mengeram sebutir telur ayam hingga menetas dan memunculkan seekor anak ayam imut-imut ke atas muka bumi ini. Tapi kenapa aku malah merasakan sebaliknya, aku malah merasakan dingin yang tak tertangguhkan, bahkan hingga seakan terasa hipotermia (padahal belum pernah seumur hidup ini aku berada pada kondisi dengan suhu di bawah 35°C). “Apakah ini yang dikatakan demam?”, “Iya iya”, anggukku dengan monolog yang semakin tidak karuan ini.

Dengan berat hati, berat mata dan ringan tubuh, ku langkahkan kakiku menuju dapur, diiringi rintik-rintik air hujan yang kian menggelegar. Sepi terasa derap langkahku. Hanya aku satu-satunya ciptaan Tuhan paling sempurna malam ini di bawah atap rumahku ini. Ya,,, aku sendiri menghuni rumah mungil ini. Masih tercium oleh indra penciumanku yang pesek, aroma durian dari tempat sampah di sudut dapurku. Merekalah hal yang patut disalahkan atas semua yang menimpaku, semua penderitaan yang ku alami di malam itu.

===

Begini ceritanya:
Musim durian telah tiba. Hmmm, begitu indah, can you smell that? Tiap malam, tiap hari buah-buah manis itu berjatuhan. Desa kecil ini kini kaya akan buah durian. Rumah-rumah menjajakan durian di terasnya, mengundang mereka yang berminat membeli dan menikmati buah buruk rupa nan baik hati ini. Ku sebut “buruk rupa nan baik hati” adalah karena seperti itulah mereka. Mereka buah berduri, tak cerah warnanya, keras kulitnya, sakit terasa jika menyentuh mereka terlalu keras. 180° dari penampilannya itu, hati mereka bagitu manis, begitu putih dan begitu lembut. Begitulah deskripsiku tentang buah yang satu ini.

Melimpahnya durian ini memberikan sedikit pengaruh terhadapku. Ini adalah tentang buah durian pemberian rekan kerjaku. Kita sebut saja dia Mr. A. jadi, Mr. A adalah rekan kerja sekaligus pemilik sebuah kebun durian. Dia menghadiahkan dua buah durian ukuran sedang untukku. Aku begitu senang, air mukaku menjadi cerah dan ku terima pemberiannya dengan sumringah.

Malam harinya, ku ajak tetanggaku datang ke rumahku untuk menikmati buah manis yang akan ku kupas ini. Ronde pertama berlalu, satu buah durian ludes.

Hari berikutnya, sekitar jam 4 pm, ku kupas lagi buah yang kedua, aroma ranum keluar dari sana. Kali ini aku nikmati buah ini sendirian. Buah ini masuk ke kerongkonganku secara bertubi-tubi dan membabi-buta. Namun, tetap saja tak mampu ku habiskan semua bagiannya. Ku sisihkan, untuk dilanjutkan nanti malam, ha a.

Janji itu ku penuhi, janji menamatkan durian yang bersambung tadi siang. Maka 8 pm di hari yang sama, durian yang sudah duduk manis di dalam tupperware di atas meja makanku siap untuk disantap. “Bismillah”, ujarku dalam hati, hatiku yang paling dalam, sedalam sumur bor. Dan akhirnya terselesaikan juga hidangan yang telah tertunda ini. Oh, begitu nikmat, lembut di lidah, panas di kerongkongan, meningkatkan suhu tubuh, menyakitkan kepala dan klimaksnya adalah demam di larut malam. Huft, menyedihkan sekali.

===

Segera ku jangkau sebuah gelas cantik di rak di dapur mungil itu. Gelas yang ku dapatkan sebagai hadiah atas pembelian product sabun colek yang mungkin saja sepi peminat menurut pandanganku, jadi mereka menggunakan hadiah berupa gelas cantik sebagai strategi pemasarannya. Dan itu sedikit banyak membuat tertarik calon pembeli. Segelas air putih ku paksa dengan sekuat tenaga untuk meneguk semuanya, hingga tetes teakhir.

Begitu banyak keterpaksaan yang pada kenyataannya tak harus ada. Sekarang aku terpaksa menyalakan api dari kompor minyakku ini, untuk memanaskan segelas air. Ini adalah salah satu konsekuensi yang harus ditanggung jika tak ada dispenser di rumah.

Dengan air panas ini, ku tambahkan sedikit air dengan suhu normal. Akhirnya, hasilnya adalah air hangat-hangat kuku (aku pun masih bingung hingga sekarang, sebenarnya kuku yang mana yang hangat? *menyentuh kuku*).

Kembali ke kasur ku yang empuk dan lembut adalah hal terindah yang akan ku lakukan. Memejamkan mata yang berat, seberat truk 5 ton. Tapi sulit sekali, ribuan paku seakan dipaksa ditusukkan ke kepalaku yang bahkan tak ada isinya, dan ribuan butiran es terasa menempel di kulit ariku, hingga menembus tulang-tulangku.

===

Nada-nada itu berdering, berdentum, dan mendengung di telingaku dari mesin kecil yang canggih dan membantu berkomunikasi. 5 am, keesokan harinya. Suhu tubuhku terasa kembali normal, tak lagi kurasakan butiran es itu. Namun aku masih sulit berartikulasi, karna kerongkonganku masih tercekik.

Pelajaran hari ini: jangan tergoda oleh bujuk rayu sang durian. ^_^
 

Saturday 12 March 2011

Expecto Patronum

Lagi-lagi serangga jelek, menjijikkan, menjemukan, menggelikan, menakutkan dan segalanya mengampiri ku. Sepertinya mereka begitu angkuh dan bangga bisa berada di dalam kehidupanku dan dengan berlagak sombong menginjak-injak harga diriku. Itulah mereka, KECOA.

Sepertinya mereka mengikuti kemana aku pergi. Ketika aku di kampung halaman, mereka juga, ketika aku di Padang, mereka juga, ketika aku dimana aja, mereka juga. Aku bahkan bingung “apa mereka tak bosan mengikuti kemanapun aku pergi?”

Kecoa lebih menjijikkan bagiku dari pada seekor cacing,  lebih menjijikkan dari pada seekor tikus, lebih menjijikkan dari pada ulat, bahkan ulat bulu sekalian. Aku lebih memilih gelap dari pada seekor kecoa, iiiiiiiiiiiihhhhhhhhhh….

Ini adalah kisah mengenai kecoa-kecoa menjijikkan yang ku maksudkan tersebut:

Alkisah,
Kuliahku berakhir tepat pada pukul 3 sore di jam yang melingkar di tangan kiriku. Gerah di sekujur tubuh yang aku rasakan. Setelah seharian sejumlah rumus, hitung-hitungan, variebel, kalimat, imajinasi, bahkan gosip berusaha dengan keras mengetuk pintu otak ku agar menginap di sana. Tapi otakku begitu keras kepala (emang otak punya kepala?), dia begitu bodoh menyeleksi apa-apa saja yang boleh menginap. Gosip adalah salah satu hal yang ia terima. Sekarang dia bahkan tidak sependapat dengan bibirku. Bibirku pernah berucap “aku harus serius, biar bisa, biar ngerti, biar ujian g nyontek, jadi plototin terus dosen yang di depan tanpa berkedip” (hingga mata memerah dan menangis darah). Tapi, tapi dan tapi, aku kian gencar menyontek (emang dasar plagiat!) dan otakku malah kian hebat menjaga pertahanannya, layaknya seorang kipper sepak bola. Menjaga gawangnya, menangkap bola yang mau masuk, dan menendangnya lagi ke lapangan. Bola disana adalah sejumlah ilmu, gawang adalah otakku, kipper itu sendiri adalah pintu otakku (begitu pelik). Aku rasa, otakku pernah bertemu dengan Markus, sang kipper Timnas, untuk berlatih bagaimana menjaga gawang. (bukan perspektif yang baik).

Ku langkah kan kakiku menuju ambang pintu kelas, ada lima temanku di sana yang sudah lebih dahulu keluar menunggu ku di ambang pintu. Dengan senyum yang menurutku sangat manis, ku lemparkan kepada mereka, dengan semangat membabi buta aku berkata “yuk pulang!!!”

Kebiasaan kami sebelum pulang adalah mampir di salah satu tempat fotokopy favorit kami, “Alif Fotocopy” itu namanya. “ngopi apa?” ujarku, “tugas tadi udah ada pembahasannya dari kelas sebelah” jawab salah satu temanku. Mataku langsung berbinar-binar mendengar ucapannya. Aku tak usah bergadang malam ini. Haha, tinggal salin saja apa yang ada (lagi-lagi plagiat).

Temanku pun menyerahkan lembaran-lembaran kepada Bang Alif, nama yang kami berikan untuk abang fotokopy itu, dan kami tahu persis itu bukanlah nama yang sebenarnya. Dan sampai sekarang pun aku tak tahu, siapa sebenarnya “Alif” yang dijadikan nama sebuah usaha tersebut. Bang Alif mulai bekerja dengan mesin fotocopynya yang putih abu-abu. Tak terlihat sedikit kejenuhanpun di wajahnya saat usianya sudah sekitar 35 tahunan, dia tetap saja memberikan senyumannya kepada kami, entah lelah ataupun jenuh. Dia telah lebih dahulu berada di kampus ini dibandingkan kami. Aku tidak tahu sudah berapa tahun dia menggeluti usaha ini. Dia bahkan tahu lebih banyak mengenai buku atau skripsi dibandingkan kami. Sehingga kami sering bertanya padanya, misalnya tentang buku pegangan apa yang digunakan dosen ini untuk mata kuliah ini, atau bagaimana seharusnya penulisan skripsi bagian ini. dia akan dengan ramah dan tulus memberikan jawaban untuk kami.

Bang Alif mulai dengan membuka bagian atas mesin, meletakkan lembaran itu di antaranya, dan kemudian menutupnya kembali. Jemarinya menekan tombol-tombol di mesin itu. Mesin itupun bekerja dengan menyuarakan bunyi-bunyi yang khas dan kilatan-kilatan kecil terlihat di dalamnya. Seketika itu pula kertas-kertas yang lain ke luar dari sisi lain mesin ini. Itu dia fotokopian tugas yang akan aku tulis malam nanti. Kami kembali ke kosan masing-masing setelah menerima lembaran-lembaran tadi.

===

Aku kini di dalam angkutan kota, menuju kosanku. Angkutan kota terwaah di kota Padang, yaitu rute Tabing-Singgalang, full music yang isinya lagu-lagu yang update atau lagu super dugem, dengan speaker besar dibelakangnya, hingga memaksa jantung dan paru-paruku keluar. Dua buah LCD, masing-masing di depan dan di belakang yang menurutku tak perlu ada, sebab penumpang lebih cinderung memandang keluar dibandingkan ke LCD. Penumpang tentu saja tak ingin melewatkan tempat di mana seharusnya dia berhenti. Jadi LCD menjadi percuma saja. Tentu music saja sudah cukup bagiku. Ini belum selesai, hiasan angkutan ini masih banyak, misalnya beraneka ragam boneka, ular, bear, kumbang, ikan dan lain-lain yang kupandang seperti toko boneka. Satu hingga dua buah lampu pijar yang begitu terang dan asesoris lainnya yang masih bisa dia pasang di sana. Tapi angkutan ini tetap kelihatan bersih bagiku.

Aku duduk di bangku kecil di depan pintu masuk. Sesak terlihat. Saat itu adalah saat-saat dimana banyak orang ingin pulang ke rumahnya masing-masing, anak sekolah, kuliahan, pegawai kantoran atau pekerjaan-pekerjaan lainnya. Ku perhatikan wajah-wajah letih mereka setelah melewatkan hari ini. Aku tentu tak tahu apa saja yang masing-masing dari mereka lewatkan, aku hanya berharap, semoga itu indah dan membuat mereka bahagia. Akupun akan merasa bahagia berada di antara orang-orang yang bahagia.

Angkutan ini terus melaju membawa kami pulang. Angin terasa begitu sejuk mengibaskan kerudung putihku. Satu persatu mereka turun, hingga akhirnya tinggal kami bertiga di sana, aku, seorang perempuan paruh baya, dan sopir angkutan. Aku dan perempuan paruh baya ini berhenti di gang yang sama, tapi menyusuri jalan yang berbeda di persimpangan gang. aku berjalan gontai menuju kosanku. Jalan setapak yang kulewati terlihat sedikit basah, ini karna hujan deras tadi siang.

===

Aku di depan televisi 14 inc dengan sepiring nasi beserta lauk dan sayurnya, setelah mandi dan shalat asar. Uni Linda teman kosanku sekaligus kakakku (dalam arti sebenarnya) juga ada disana, ditemani dengan sebuah buku ditangannya. Kami bercerita seputar apa yang terjadi di kampus hari ini, sesekali gelak tawa mengiringi cerita kami. Uni Linda adalah orang yang kutu-an (bukan dalam arti yang sebenarnya). Maksudku, dia begitu gila buku, alias kutu buka. Dia lebih betah berada di toko buku berjam-jam dari pada di mall lama-lama. Dia bahkan bisa melahap buku 400 halaman dalam satu malam. Woooow

“tidur bentar ah” ujarku tiba-tiba, “setengah jam-an lah” tambahku lagi. “bentar???” balas Uni Linda dengan sedikit depensif, “hehehe, kurang lebih lah bu, mudah-mudahan tak sampai distorsi” balasku lagi.

Belum lama aku memejamkan mataku, terasa sesuatu berjalan di kepala ku, ku kibaskan dan kembali ku pejamkan lagi mataku yang sayu. Dalam tidur siangku ini, aku bermimpi, seseorang mengetuk kepalaku hingga kepalaku terasa sakit, akupun mengusap-usap kepalaku. Sekarang terasa nyata, ada sesuatu di tanganku setelah ku usapkan ke kepala. Dengan tidak ikhlas ku bukakan mataku perlahan. Di telapak tanganku, terasa ada sesuatu yang hidup, sesuatu yang memiliki nyawa, dan sesuatu yang menggelikan. Segera ku buka telapak tangan kananku, spontan aku menjerit setelah ku dapati seekor serangga menjijikan di sana, seekor kecoa. Aku menghentak-hentakkan tanganku sambil berlari ke luar kamar dengan celana pendek, t-shirt dan rambut acak-acakan, bermaksud agar serangga itu tak lagi di sana. Tak ku temukan seorangpun di ruang tamu, ternyata kecoa itu malah ikut terbang ke ruang tamu. Aku semakin menjerit dan berlari menghindar. Hingga akhirnya ku putuskan untuk membuka pintu depan dan berlari ke luar rumah. Sambil menjerit-jerit dan masih dengan rambut acak-acakan aku berlari keluar. Terengah-engah ku perhatikan ke belakang, tak ada lagi kecoa terbang di sana, dia tak lagi mengikutiku.

Aku mengusap-usapkan tanganku ke dada, “huft” hela ku. Aku sekarang aman. “ku semprot juga ntar tu kecoa-kecoa jelek, biar mampus, expecto patronum!!” kutukku dengan mimik membara. Tiba-tiba suara asing terdengar di telingaku “aman non?”, aku segera menoleh ke arah sumber suara. Di sana ada 3 orang cowok kosan sebelah, memandangku dengan tampang seakan menahan tawa. “hah??” ujarku kaget, “a a a man kok” tambahku dengan senyum terpaksa, pipi merah merona, tampang g jelas, lalu aku berhambur cepat ke kosan.

Sekilas terdengar gelak tawa dari luar jendela…