Titik-titik air itu semakin terdengar radikal dan begitu menggebu-gebu di atas atap rumahku. Memaksa aku untuk membuka mata sayuku (halah). Masih dengan mata sayu itu, ku lirik sedikit jam di dinding kamarku yang berwarna bak hutan hujan yang teduh (ku sebut hijau pucuk). Tak dapat ku rasakan kesegarannya, meskipun sang raksasa bulldog di sampingku yang acap kali ku peluk, selalu melemparkan senyuman obsesifnya.
Ku singkap sedikit kain tebal yang membaluti tubuh kurusku, hingga dapat ku fokuskan pandanganku sepenuhnya ke arah jam dinding itu. Ku dapati angka 2 am di sana. Ku tarik lagi kain tebal itu ke sekujur tubuhku. Berusaha keras aku memposisikan tubuhku agar menjadi hangat, namun kain itu tak lagi cukup untuk menghangatkan, karna dingin itu kian merasukiku.
Menggunakan gaya dokter gadungan yang sedang mendiagnosa pasiennya yang mengeluh sakit, ku tempelkan punggung tangan kananku ke dahiku sendiri (mulai berfikir: “yang dokter siapa? Dan pasiennya siapa?”). Oh waw, singkat kata, suhu tubuhku sudah cukup digunakan untuk mengeram sebutir telur ayam hingga menetas dan memunculkan seekor anak ayam imut-imut ke atas muka bumi ini. Tapi kenapa aku malah merasakan sebaliknya, aku malah merasakan dingin yang tak tertangguhkan, bahkan hingga seakan terasa hipotermia (padahal belum pernah seumur hidup ini aku berada pada kondisi dengan suhu di bawah 35°C). “Apakah ini yang dikatakan demam?”, “Iya iya”, anggukku dengan monolog yang semakin tidak karuan ini.
Dengan berat hati, berat mata dan ringan tubuh, ku langkahkan kakiku menuju dapur, diiringi rintik-rintik air hujan yang kian menggelegar. Sepi terasa derap langkahku. Hanya aku satu-satunya ciptaan Tuhan paling sempurna malam ini di bawah atap rumahku ini. Ya,,, aku sendiri menghuni rumah mungil ini. Masih tercium oleh indra penciumanku yang pesek, aroma durian dari tempat sampah di sudut dapurku. Merekalah hal yang patut disalahkan atas semua yang menimpaku, semua penderitaan yang ku alami di malam itu.
===
Begini ceritanya:
Musim durian telah tiba. Hmmm, begitu indah, can you smell that? Tiap malam, tiap hari buah-buah manis itu berjatuhan. Desa kecil ini kini kaya akan buah durian. Rumah-rumah menjajakan durian di terasnya, mengundang mereka yang berminat membeli dan menikmati buah buruk rupa nan baik hati ini. Ku sebut “buruk rupa nan baik hati” adalah karena seperti itulah mereka. Mereka buah berduri, tak cerah warnanya, keras kulitnya, sakit terasa jika menyentuh mereka terlalu keras. 180° dari penampilannya itu, hati mereka bagitu manis, begitu putih dan begitu lembut. Begitulah deskripsiku tentang buah yang satu ini.
Melimpahnya durian ini memberikan sedikit pengaruh terhadapku. Ini adalah tentang buah durian pemberian rekan kerjaku. Kita sebut saja dia Mr. A. jadi, Mr. A adalah rekan kerja sekaligus pemilik sebuah kebun durian. Dia menghadiahkan dua buah durian ukuran sedang untukku. Aku begitu senang, air mukaku menjadi cerah dan ku terima pemberiannya dengan sumringah.
Malam harinya, ku ajak tetanggaku datang ke rumahku untuk menikmati buah manis yang akan ku kupas ini. Ronde pertama berlalu, satu buah durian ludes.
Hari berikutnya, sekitar jam 4 pm, ku kupas lagi buah yang kedua, aroma ranum keluar dari sana. Kali ini aku nikmati buah ini sendirian. Buah ini masuk ke kerongkonganku secara bertubi-tubi dan membabi-buta. Namun, tetap saja tak mampu ku habiskan semua bagiannya. Ku sisihkan, untuk dilanjutkan nanti malam, ha a.
Janji itu ku penuhi, janji menamatkan durian yang bersambung tadi siang. Maka 8 pm di hari yang sama, durian yang sudah duduk manis di dalam tupperware di atas meja makanku siap untuk disantap. “Bismillah”, ujarku dalam hati, hatiku yang paling dalam, sedalam sumur bor. Dan akhirnya terselesaikan juga hidangan yang telah tertunda ini. Oh, begitu nikmat, lembut di lidah, panas di kerongkongan, meningkatkan suhu tubuh, menyakitkan kepala dan klimaksnya adalah demam di larut malam. Huft, menyedihkan sekali.
===
Segera ku jangkau sebuah gelas cantik di rak di dapur mungil itu. Gelas yang ku dapatkan sebagai hadiah atas pembelian product sabun colek yang mungkin saja sepi peminat menurut pandanganku, jadi mereka menggunakan hadiah berupa gelas cantik sebagai strategi pemasarannya. Dan itu sedikit banyak membuat tertarik calon pembeli. Segelas air putih ku paksa dengan sekuat tenaga untuk meneguk semuanya, hingga tetes teakhir.
Begitu banyak keterpaksaan yang pada kenyataannya tak harus ada. Sekarang aku terpaksa menyalakan api dari kompor minyakku ini, untuk memanaskan segelas air. Ini adalah salah satu konsekuensi yang harus ditanggung jika tak ada dispenser di rumah.
Dengan air panas ini, ku tambahkan sedikit air dengan suhu normal. Akhirnya, hasilnya adalah air hangat-hangat kuku (aku pun masih bingung hingga sekarang, sebenarnya kuku yang mana yang hangat? *menyentuh kuku*).
Kembali ke kasur ku yang empuk dan lembut adalah hal terindah yang akan ku lakukan. Memejamkan mata yang berat, seberat truk 5 ton. Tapi sulit sekali, ribuan paku seakan dipaksa ditusukkan ke kepalaku yang bahkan tak ada isinya, dan ribuan butiran es terasa menempel di kulit ariku, hingga menembus tulang-tulangku.
===
Nada-nada itu berdering, berdentum, dan mendengung di telingaku dari mesin kecil yang canggih dan membantu berkomunikasi. 5 am, keesokan harinya. Suhu tubuhku terasa kembali normal, tak lagi kurasakan butiran es itu. Namun aku masih sulit berartikulasi, karna kerongkonganku masih tercekik.
Pelajaran hari ini: jangan tergoda oleh bujuk rayu sang durian. ^_^
No comments:
Post a Comment